Kamis, 04 Juni 2009

Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kau Dustakan

Pagi ini....
ALLOH masih mengembalikan ruh yang digenggamNya tadi malam.
Apa jadinya jika ruh itu ditahanNya???
Mungkin penyesalan demi penyesalan kian menghujam dalam dada
Karena perjalanan panjang kemarin bak persinggahan sejenak
tanpa bisa menyiapkan bekal bertemu denganNya...

Pagi ini...
Masih kita nikmati fajar yang menyingsing
Mentari yang bersinar
Dan udara yang segar.
Apa jadinya jika tadi malam Malaikat Maut telah menjemput???
Mungkin kini kita tengah dipersiapkan menuju lahat
Namun siap atau tidak
Pertanyaan Mungkar dan Nakir akan tetap dilontarkan...

Fa bi ayyi aLaa-i robbikumaa tukadzdzibaan???
Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kau Dustakan???

Selasa, 26 Mei 2009

Suara emasmu..... Auratmu.....

Anggota tubuh wanita adalah aurat, sampe pun suaranya, benarkah? Banyak yang mengira suara wanita yang mendayu-dayu dan mendesah adalah keindahan. Bahkan, banyak penyanyi wanita yang unjuk kebolehan suara mereka. But, anehnya suara mereka yang mendayu-dayu plus merdu dinilai seni dan keindahan oleh banyak orang.... trus gimana syariat Islam memandang suara wanita model ini???
Sebuah lembaga riset, keilmuan dan pemberi fatwa negeri Saudi Arabia mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Ada yang mengatakan bahwa suara wanita adalah aurat. Apakah pernyataan ini benar?”
Lembaga ini memberi tanggapan, “Wanita adalah tempat untuk memenuhi kebutuhan pria. Mereka lebih cenderung kepada wanita karena dorongan syahwat. Jika wanita melantunkan suaranya maka akan bertambah fitnah. Karenanya, ALLAH SWT memerintahkan kepada kaum mukmin apabila mereka akan meminta sesuatu kepada wanita hendaknya dari balik tabir, ALLAH SWT mengatakan, “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka...” (Al Ahzab:53)
ALLAH SWT juga melarang kaum wanita berlemah lembut dalam berbicara dengan kaum pria agar tidak muncul hasrat orang yang di dalam hatinya bercokol penyakit. Sebagaimana firman ALLAH SWT, “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian nggaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya...” (Al Ahzab: 32)
Begitulah yang diperintahkan, meski pada saat itu (zaman kehidupan Nabi SAW-red) kaum mukmin sangat kuat imannya, maka terlebih di zaman ini, di mana keimanan telah melemah dan sedikit sekali orang yang bersikukuh dengan agamanya.
Maka hendaknya kamu ( wanita mukmin ) nggak sering-sering bergaul dengan kaum laki-laki yang bukan mahram, sedikitlah bicara dengan mereka kecuali jika ada keperluan yang sangat mendesak dan nggak lemah lembut dalam berbicara.
Dengan begitu kamu tahu bahwa suara wanita yang nggak disertai dengan lembah lembut bukanlah aurat. Karena kaum wanita pada zaman Nabi SAW biasa berbicara dengan beliau dan para sahabat tentang hal yang mereka butuhkan, namun hal itu nggak diingkari. Hanya ALLAHlah yang kuasa memberi petunjuk.

Jumat, 15 Mei 2009

suRat CintA unTuk SaudaRiku...

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaiykum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sepucuk surat cinta untuk saudariku

Ukhti

Yang kusayangi karena Allah

Ukhtiy…

Tiada kata yang pantas terucap oleh lisan kita, tatkala mengingat betapa besar nikmat yang Allah berikan, selain puji-pujian kepada-Nya atas hidayah yang masih bersemayam dalam kalbu kita hingga hari ini. Ingatkah kita untuk selalu mensyukurinya? Ataukah hidayah yang dulunya terasa begitu manis, lama-kelamaan menjadi kian hambar,hingga kini hanya terasa biasa-biasa saja?

Masih ingatkah kita, saat hidayah itu belum datang menyapa? Hari-hari terasa indah, namun tak ada makna yang terlukis di dalamnya dan tak ada ketenangan yang menyirami jiwa kering ini. Mungkin dulu kita tak begitu menyadari kekeringan itu. Akan tetapi, setelah Allah memilih kita sebagai salah satu hamba yang Dia kehendaki mendapatkan cahaya untuk menyinari jalan hidup kita, begitu dalamnya terasa peyesalan ini. Penyesalan akan noktah-noktah dosa yang semakin membuat hati kita menjadi hitam legam. Penyesalan yang pernah membuat kita menangis dan bersimpuh memohon ampunan-Nya. Ke mana perginya rasa bahagia menjadi orang terpilih itu? Ke mana perginya air mata penyesalan itu? Kuharap, dia masih di sana. Di dalam lubuk hati kita, terbingkai oleh keinginan untuk tetap istiqomah dalam ketaatan sebagai pejuang agama-Nya…

Dulu, engkau adalah orang yang tak ku kenal. Aku pun begitu, adalah orang yang asing bagimu. Dulu, kita hanya memikirkan kepentingan sendiri, mengurus urusan masing-masing, tanpa memperdulikan bahwa di sekitar kita ada orang lain. Satu hal lagi yang sepatutnya kita syukuri, bahwasanya Allah mempertemukan kita dengan orang-orang yang dipilih-Nya untuk mendampingi kita menapaki jalan dakwah yang penuh dengan kerikil tajam, berbatu-batu, bartabur onak dan duri. Awalnya, ukhuwah itu begitu manis. Namun kini, kesibukan-kesibukan dunia kembali membuatnya berdebu. Kita seakan mati rasa atas apa yang terjadi pada saudara kita. Akankah debu itu kita biarkan begitu saja mengotori jalinan ukhuwah kita? Rasulullah bersabda, yang artinya, “Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga ia mencintai saudaranya melebihi dirinya sendiri.” Subhanallah, itulah itsar yang begitu indah. Yang akan membawa kita ke dalam barisan kafilah 7 golongan yang akan dilindungi oleh ‘Arsy Allah di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Mungkin hal itu masih sulit kita lakukan, namun sulitkah mempersembahkan sesuatu bagi saudari kita, walaupun hanya tingkatan ukhuwah yang paling rendah, yaitu berlapang dada atas kekurangannya?

Tak ada manusia yang sempurna. Tak semua orang dapat menjadi seperti yang kita harapkan. Namun, satu hal yang bisa mempersatukan kita, menerima kekurangan saudara sembari saling mengingatkan karena tak ada yang bisa mengelak dari kekhilafan. Siapa lagi yang bisa mengingatkanku, selain engkau Saudariku? Engkau yang dipersaudarakan Allah denganku, teman seperjuangan sebagai tentara-Nya. Satu harapan kulayangkan padamu, jangan biarkan aku tenggelam dalam keterpurukan. Siapa lagi yang akan menarikku dari liang kesalahan, jika bukan dirimu? Suatu hari, ketika aku pun melakukan hal yang sama, mengingatkan akan ketersalahanmu, ingatlah satu hal. Aku tak bermaksud membuatmu terluka, namun aku melakukannya karena aku mencintaimu karena-Nya. Mungkin cara yang kutempuh kadang salah, namun kuharap tak ada hijab yang menghalangi kejujuran di antara kita. Kuharap, tak ada lagi yang terluka karena ada hal yang disembunyikan. Jangan biarkan saudara kita terlelap dalam kesalahannya tanpa ada keinginan untuk membuatnya terjaga.

Kini kita mengemban tugas yang mulia. Tugas yang dibebankan kepada orang-orang terpilih. Tugas para nabi dan Rasul Tugas untuk menyerukan agama Allah di muka bumi, mengajak orang-orang kembali kepada ajaran agama yang benar, sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya serta para salafushshalih. Kita telah diberi pilihan, dan kita memilih menceburkan diri ke dalam telaga dakwah ini. Adakah penyesalan atas jalan yang kita ambil? Kejenuhan kian merambat, kelelahan makin membuat rasa penyesalan itu bertambah sangat. Di luar sana, orang lain bebas berbuat semaunya, tanpa ada aturan yang mengikat. Di luar sana, orang-orang bebas memakai pakaian yang sedang trend, bercanda dengan lawan jenis, dan berlomba-lomba menggapai dunia. Pernahkah terlintas untuk kembali bergabung bersama mereka? Pernahkah terlintas keinginan unuk menarik diri dari jalan dakwah ini?

Jalan ini tidaklah mudah. Ketika rasa bosan itu hadir, luruskan kembali niat kita. Ketika rasa lelah itu mengusik, berhentilah sejenak untuk mengoreksi keikhlasan kita. Mengundurkan diri sebagai jundullah sangatlah mudah. Allah tidak akan merasa dirugikan dengan tereliminasinya kita dari tugas mulia ini. Namun, ingatlah Saudariku. Dakwah ini memang tidak membutuhkan kita. Namun kita-lah yang membutuhkannya agar tetap bisa istiqomah. Mungin kita berpikir kita hanyalah sebuah bagian kecil yang tak akan berpengaruh apa-apa ketika melenggang meninggalkan dakwah. Tetapi, apa jadinya sebuah puzzle jika salah satu bagiannya hilang? Ya, akan terjadi ketimpangan di dalamnya. Begitupun dengan kita. Sekecil apapun peran kita, akan menzhalimi saudari kita yang lain ketika kita meninggalkannya.

Jalan ini tidaklah menjanjikan kehidupan bak seorang raja. Jalan ini tidaklah dihiasi dengan bunga-bunga yang indah di sisi kiri dan kanannya. Jalan ini begitu terjal, penuh rintangan dan hambatan. Jangan sampai kerikil-kerikil kecil yang sempat membuat kita terjatuh, melemahkan semangat kita untuk melanjutkan perjalanan. Jangan sampai setelah tergelincir sesaat, kita memilih berhenti dan kembali ke belakang, mengabaikan perjalanan yang kita mulai dari awal. Itulah gunanya saudara di jalan dakwah. Saudara yang senantiasa menggenggam tangan kita agar tidak tertinggal oleh pasukan para pejuang. Saudara yang selalu siap mengulurkan tangannya ketika kita terjatuh, tersandung oleh kerikil-kerikil tajam itu.

Jalan dakwah ini bukanlah jalan yang beraspal licin. Perjalanan ini bukanlah perjalanan yang singkat. Bukan pula tamasya sambil berleha-leha. Juga bukan sebuah kompetisi lari yang menunggu decak kagum dan penghargaan manusia di ujungnya. Namun jalan dakwah ini adalah jalan yang tidak berujung, tidak mulus dan tidak mudah. Dunia ini bukanlah tempat untuk beristirahat. Istirahat itu nanti, ketika kaki kanan kita telah ada jaminan untuk melangkah memasuki jannah-Nya. Di sana telah disediakan balasan bagi para pejuang Islam, dan yang paling indah adalah kesempatan memandang wajah-Nya. Biarlah kesulitan jalan ini menjadi pemberat timbangan kebaikan kita, karena “Al-Ajru ‘alaa qadri masyaqqah.” Tetaplah menjadi saudariku karena-Nya….

Ukhtiy, ingatlah selalu firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (Q.S.At-Taubah, 9;38)

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S.At-Taubah, 9:41)

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S.Al-Ahzab, 33:36)

Saudariku…

Jika esok aku terlalu gembira, sadarkan aku dengan amarah Allah.

Jika aku bersedih tanpa kata, bujuklah aku dengan tarbiyah Pencipta.

Jika aku lemah tak berdaya, ingatkan aku dengan kehebatan surga.

Jika ada tembok yang memisahkan kita, ajaklah aku merobohkannya dengan segera.

Jika hatimu pernah aku lukai, luapkanlah agar aku berubah.

Dan jika esok aku tidur tanpa terjaga, iringilah aku dengan doamu.

Berjanjilah Saudariku, persaudaraan kita tetap untuk selamanya….

Uhibbukifillah. Ahabbanallahu wa iyyakum.

Yang mencintaimu karena Allah

Myspace Layoutspimpmaspace layouts

Rabu, 29 April 2009

Siapa yang berani menjawab pertanyaan ini?

Mengapa sulit bagi kita untuk mengucapkan kebenaran sementara tidak ada yang lebih mudah daripada ucapan yang batil?

Mengapa kita merasakan kantuk saat kita shalat dan merasa segar selepas selesai shalat?

Mengapa kita begadang tiap malam hanya karena menonton film atau duduk-duduk bersama teman, dan kita tidak begadang dengan membaca Alqur’an?

Mengapa kita bisa bangun pagi-pagi sekali karena pekerjaan, sementara kita tidak bisa bangun karena shalat fajar?

Mengapa kita takut terhadap pengawasan manusia, dan tidak takut terhadap pengawasan Allah?

Mengapa kita menafkahkan harta untuk kesenangan padahal itu akan segera hilang, sementara kita bakhil untuk shadaqah kepada para faqir padahal itulah yang kekal?

Mengapa kita mengatakan cinta kepada Allah padahal kita bermaksiat kepada-Nya, sementara kita mengatakan benci syaitan padajhal kita menaatinya dan menjadi pasukannya?

Mengapa kita merasa bosan saat membaca buku-buku islami, dan merasa semangat saat membaca novel atau tentang sesuatu yang lain?

Mengapa kita menghapus sms yang berbicara tentang urusan agam dan menghafalkan sms yang murahan?

Mengapa kita senang mendengarkan lagu-lagu dan membenci mendengarkan Alqur’an?

Mengapa kita melihat masjid sebagai tempat yang ditinggalkan, dan melihat tempat-tempat permainan sebagai tempat yang dimakmurkan?

Mengapa kita menjauh dari orang yang menasihati kita dan menginginkan kita berada dalam syurga, sementara kita mencintai dan mendekat kepada orang yang menuntun kita kepada kehancuran, dan jika kita kehilangan dia, kita mencarinya?

Mengapa kita mengingat aib orang lain dan melupakan aib-aib kita sendiri?

Mengapa kita terpengaruh dan menangis karena nyanyian dan tidak terpengaruh serta menangis karena takut kepada Allah dan saat mendengar ayat-ayat-Nya?

Mengapa kita marah jika kehormatan kita dilangkahi walau dengan satu ucapan dan tidak marah jika larangan-larangan Allah dilanggar meski dengan sesumbar?

Mengapa kita membela Rasulullah dari orang-orang yang melecehkan beliau dan tidak membela Allah dari orang-orang yang menyekutukan-Nya dengan selain-Nya?

Pikirkanlah perkara-perkara tesebut...!
Apakah engkau akan memikirkan apa yang baru saja engkau baca?
Apakah engkau akan berusaha untuk mengubah keadaanmu?
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang bersabar saat terjadi bala’ dan bersyukur saat hidup ini makmur...

Selasa, 28 April 2009

beLum siap?

“Katakanlah kepada wanita yang beriman,'Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan kecuali yang (biasa) nampak dari mereka',” (An-Nur [24]: 31)
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,'Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Al-Ahzab [33]: 59)
“sebenernya udah ada kemauan, tapi, entahlah... Aku belum siap” Mira sedikit tersenyum.
“Ra, sekali lagi kita tidak bicara masalah siap atau tidak, tapi ini masalah kewajiban. Bagaimana kalau sedetik kemudian ajal menjemput, atau sedetik kemudian kiamat? Tidak ada waktu lagi kan?”kataku.
“Hemm... belum ada tanda besar akan kiamat, Dy. Masih ada waktu.”
Astagfirullah. Aku terkejut mendengar ucapan teman sekelasku ini ketika sedang membahas tentang jilbab untuk yang ke sekian kalinya.
Saudariku, tidakkah kau tau bahwa Allah bisa saja mengakhiri kehidupan ini dalam seketika jika Ia menghendaki?Kapankah kesiapan itu ada? Ketika tanda-tanda besar kiamat sudah terlihat? Tidakkah kau tau ketika itu terjadi pintu taubat sudah ditutup? Kenapa tidak detik ini juga?
Kita kadang terlalu sombong sehingga menutup aurat pun harus pake pikir panjang. Sebenarnya apa yang patut kita sombongkan, sementara semua yang kita miliki hanyalah titipan Allah?
Saudariku... tidakkah kau sadar, syari'at ingin melepaskanmu dari segala hal yang dapat menimbulkan fitnah dengan cara mewajibkanmu untuk mengenakan pakaian takwa yang akan melindungi kehormatan dan kesucianmu?Padahal wujud kasih sayang Allah kepada hamba-Nya sudah sangat jelas. Ketika Allah memerintahkan suatu hal kepada hamba-Nya, ternyata Allah menetapkan sesuatu yang membantu hamba-Nya dan menghindarkannya dari segala bentuk kerusakan disertai dengan janji akan memberi pahala bagi mereka yang menaati-Nya.
Maha Benar firman Allah,“... Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)Maka saudariku... Apa lagi yang menghalangimu dan membuatmu tidak siap menutup auratmu???

Selasa, 14 April 2009

the spirit of ISLAM

Biarlah ALLAH saja yang menyemangati kita
sehingga tanpa sadar
setiap peristiwa menjadi teguran atas kemalasan kita
Cukuplah ALLAH saja yang memelihara ketekunan kita
karena perhatian manusia
kadang menghanyutkan keikhlasan
Semoga ALLAH mejadikan kita pribadi yang bermakna:
pribadi yang saat berbaur
ia mampu menyemangati yang lain
dan saat sendiri
ia mampu menguatkan diri sendiri